Kejati Jatim Berbangga Kampung RJ di Luncurkan Kejari Tulungagung
ADHAYAKSAdigital.com –Kejaksaan Tinggi Jawa Timur patut berbangga. Apa pasal? Kejaksaan Negeri Tulungagung yang juga wilayah hukum Kejati Jatim meluncurkan kampung Restoratif Justice, Jumat pekan lalu.
Informasi yang diperoleh ADHYAKSAdigital dari pemberitaan beberapa media, Senin (28/2), Kejari Tulungagung meluncurkan kampung restorative justice (RJ) pertama di Jawa Timur.Adapun kampung RJ itu dicanangkan di Desa Sumberejokulon, Ngunut, Tulungagung
Kajari Tulungagung Mujiarto mengatakan kampung restorative justice tersebut dicanangkan di Desa Sumberejokulon, Ngunut, Tulungagung. Kejaksaan sengaja memilih Kecamatan Ngunut, karena selama ini banyak terjadi perkara hukum yang masuk ke jaksa dari kecamatan tersebut.
“Restorative justice ini penyelesaian masalah di kampung, bukan langsung di kejaksaan tapi Jaksa yang ke kampung. Ada perdamaian antara kedua belah pihak di kampung, tapi administrasinya tetap dari polisi dan kejaksaan akan turun ke lapangan,” kata Mujiarto,
Menurut Mujiarto, pembentukan kampung RJ didasarkan pada Peraturan Jaksa Agung RI Nomor 15 Tahun 2020. Penerapan keadilan restoratif ini diharapkan dapat menyelesaikan penanganan perkara secara cepat, sederhana dan berbiaya ringan. Selain itu dapat mewujudkan kepastian hukum yang lebih mengedepankan keadilan secara menyeluruh. “Tidak hanya keadilan bagi tersangka, korban dan keluarganya, tetapi juga keadilan yang menyentuh masyarakat, dengan menghindarkan adanya stigma negatif,” imbuhnya.
Lebih lanjut Mujiarto menjelaskan dengan dibentuknya kampung restorative justice, maka jaksa yang sebelumnya hanya terbatas di kantor, saat ini bisa terjun langsung ke masyarakat untuk melakukan perdamaian di kampung restorative justice. “Turun ke desa secara langsung dengan mengundang seluruh pihak, korban, terdakwa, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat dan penyidik,” imbuhnya.
Mujiarto menegaskan dengan program kampung RJ, bukan berarti semua perkara hukum dapat diselesaikan atau didamaikan di kampung. Karena ada beberapa persyaratan ketat yang harus terpenuhi, di antaranya jumlah kerugian tidak lebih dari Rp 2,5 juta, pelaku baru pertama melakukan tindak pidana serta berbagai persyaratan lain. “Kalau pelaku pernah melakukan tindak pidana ya tidak bisa, kemudian harus ada perdamaian dari kedua belah pihak. Nah, jadi tidak semuanya bisa di-restorative justice,” jelasnya.
Lajut dia beberapa kasus yang tidak bisa diselesaikan di luar peradilan antara lain, tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat presiden dan wakil presiden, negara sahabat, kepala negara sahabat serta wakilnya, ketertiban umum dan kesusilaan. Tindak pidana yang diancam dengan ancaman pidana minimal. Tindak pidana narkotika, tindak pidana lingkungan hidup dan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.(Felix Sidabutar)