
ADHYAKSAdigital.com –Apakah keadilan bisa ditegakkan bila fakta hanya dipilih sepotong? Kasus Tom Lembong tampaknya menjawab, bisa dihukum, meski kerugian negara tak terbukti. Tapi pertanyaan yang lebih besar: mengapa hanya dia?
Vonis Tom Lembong dan keraguan audit
Pada Juli 2025, mantan Mendag Thomas Lembong dijatuhi hukuman 4,5 tahun penjara karena disebut telah merugikan negara dalam proses pemberian izin impor Gula Kristal Mentah (GKM) pada 2015–2016. Nilainya fantastis yakni Rp578 miliar. Tapi angka itu bukan dari BPK, melainkan dari BPKP.
Masalahnya, BPK menyatakan tidak ada kerugian negara. Lebih parah, audit BPKP sendiri dinilai tidak akurat:
Perbandingan yang digunakan adalah bea masuk GKM vs harga Gula Kristal Putih (GKP), dua jenis yang berbeda.
Audit tersebut tak memenuhi standar Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016, yang mensyaratkan kerugian negara nyata, pasti, dan terukur.
Bahkan Hakim pun menyatakan tidak ada niat jahat (mens rea) dari Lembong.
Tetapi toh hukuman tetap dijatuhkan. Dan publik pun bertanya, kalau memang ini soal kerugian negara dari impor gula, kenapa hanya satu periode yang disidik?
Dua dekade impor gula banyak salah, tapi belum disentuh
Indonesia bukan negara produsen gula utama. Sejak awal 2000-an, impor gula adalah rutinitas tahunan. Data resmi menunjukkan:
– Rata-rata 3,2 juta ton gula diimpor tiap tahun selama 2005–2024.
– Pada 2020, puncaknya tercatat 5,54 juta ton. Tahun 2024 pun tak kalah, ada 5 juta ton, melebihi kuota resmi 3,45 juta ton.
Anehnya, tidak ada satu pun periode lain yang disidik. Padahal indikasi pelanggaran berulang, yaitu:
– Tahun 2005–2009 yaitu, kuota impor ditetapkan tapi dilanggar. Tidak ada proses hukum.
– 2011–2014, impor naik tajam tanpa koordinasi. Sunyi dari penyidikan.
– Tahun 2017–2019, kuota dilabrak lagi, tetap lolos dari penuntutan.
– 2020–2024 terdapat bolume impor jauh di atas kuota, tapi semua tenang-tenang saja.
Kalau logika jaksa dan BPKP diterapkan ke seluruh periode? Kerugian teoritis bisa mencapai Rp11,56 triliun. Bahkan kalau dikoreksi hanya 60% dari tahun yang bermasalah, tetap ada potensi kerugian negara Rp6,9 triliun. Tapi, anehnya, hanya 2015–2016 yang dijadikan tumbal hukum. Kenapa? Wajar publik bertanya!
Keadilan tidak boleh bersifat temporal
Apa yang kita saksikan adalah politik hukum yang timpang. Penegakan hukum semestinya menyeluruh, tidak hanya “dipenggal” pada periode tertentu. Kalau hanya satu masa yang disorot, di mana prinsip equality before the law yang dijamin Pasal 27 UUD 1945?
Praktik itu menciptakan preseden buruk:
1. Seolah-olah pelanggaran yang lain bisa “lolos” asalkan tidak terjadi pada waktu yang salah.
2. Audit digunakan secara selektif, bahkan meski sudah dibantah lembaga audit negara resmi (BPK).
3. Penegakan hukum kehilangan martabatnya: bukan lagi soal keadilan, tapi soal siapa yang sedang apes.
Rekomendasi Indonesian Audit Watch
1. Audit nasional impor gula 2005–2025 melibatkan BPK, KPK, dan pakar independen. Audit harus faktual, metodologis, bukan asumtif.
2. Penegakan hukum harus retroaktif, minimal terhadap 10 kasus prioritas yang nyata melanggar kuota dan menimbulkan dampak fiskal.
3. Reformasi regulasi impor dengan menyatukan antara Permentan, aturan Kemendag, dan metode perhitungan audit. Jangan biarkan ada celah main mata.
4. Judicial Review terhadap frasa “kerugian negara” agar tidak mudah dimanipulasi auditor atau oknum penegak hukum.
Tom Lembong adalah cermin, bukan satu-satunya masalah
Kasus Tom Lembong hanyalah puncak gunung es. Kalau hukum memang ingin adil, maka harus menyentuh semua pihak di semua waktu, bukan hanya mereka yang “sedang tidak beruntung”. Kalau tidak, vonis ini hanya akan dikenang sebagai contoh bagaimana keadilan bisa dipermainkan lewat audit yang salah hitung.
Publik tak bodoh, dan kini tertawa getir. Bukan karena Tom Lembong bebas, tetapi karena keadilan ternyata bisa begitu selektif oleh perilaku oknum.
IAW yakin institusi penuntut umum akan berkenan meninjau, bahkan memahami ada kinerja buruk segelintir personilnya sehingga tidak berdampak merusak nama baik Kejaksaan Agung yang sudah berada pada fase diterima sebagai penegak rasa adil rakyat.#####
Penulis adalah Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), tinggal di Jakarta




