Rudi, Peraih Prima Adhyaksa Kini Bergelar Doktor Hukum

ADHYAKSAdigital.com –Kejaksaan Republik Indonesia patut berbangga. Apa pasal? Insan Adhyaksa yang mengabdi di lembaga negara bidang hukum ini terus berbenah untuk menghasilkan personil yang cakap, ahli dan pintar menuju Kejaksaan Profesional, Berintegritas dan Berhati Nurani.
Bertempat di Gedung Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Jumat 28 Juli 2023, Rudi Pradisetia Sudirdja dinyatakan lulus dengan predikat Cum Laude dalam meraih gelar Doktor Bidang Hukum dalam sidang promosi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum UI.
Hari itu, peraih Prima Adhyaksa ini, Rudi Pradisetia Sudirdja dihadirkan sebagai promovendus untuk di uji dan didengarkan disertasinya yang diberi judul Diskresi Jaksa dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia: Antara Kepentinggan Hukum dan Kepentingan Umum.
Bertindak sebagai penguji, Prof. Dr. Andri Gunawan Wibisana SH.MH (bertindak sebagai Ketua Sidang), Prof.Dr. Topo Santoso SH.MH (promotor), Dr. Febby Mutiara Nelson SH.MH, Prof.Dr. Harkristuti Harkrisnowo, SH.MA, Ph.D, Dr. Sigit Suseno, Dr. R. Narendra Jatna , Dr. Eva Achjani Zulfa SH.MH dan Dr. Barita Simanjuntak Sh.MH, CfrA.
Dalam ujian terbuka tersebut, Rudi berhasil mempertahankan disertasinya yang diberi judul “Diskresi Jaksa dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia: Antara Kepentinggan Hukum dan Kepentingan Umum”. “Dalam KUHAP juga belum ada pengaturan yang jelas mengenai diskresi jaksa. Padahal, banyak negara memberikan perhatian yang lebih terhadap diskresi jaksa mengingat posisi jaksa sebagai pemegang kendali penanganan perkara pidana (dominus litis),” ujar Rudi di hadapan Majelis Penguji.
Menurut Rudi, diskresi dalam hukum pidana terkait dengan masalah hak asasi manusia dan hanya dapat dilakukan jika diberikan kewenangan oleh undang-undang. Esensi diskresi terletak pada kebebasan jaksa dalam menilai dan menerapkan kewenangan yang dimiliki. Di Indonesia, diskresi jaksa ditemukan pada setiap tahapan sistem peradilan pidana, tetapi hanya didasarkan pada aspek kepentingan hukum dan belum mencakup aspek kepentingan umum. Pelaksanaan diskresi jaksa juga dibatasi oleh prinsip kesatuan komando di lembaga kejaksaan.
Dalam penelitiannya, Rudi menemukan mayoritas responden jaksa di Indonesia jarang menerapkan diskresi karena birokrasi yang rumit. ”Mereka setuju bahwa jaksa harus memiliki independensi dan akuntabilitas yang lebih kuat,” ujar peraih predikat Prima Adhyaksa pada Pendidikan Pembentukan Jaksa Tahun 2016 tersebut.
Dalam disertasinya Rudi menawarkan pendekatan baru bagi jaksa dalam mengambil keputusan, yakni pendekatan the operational efficiency model yang menekankan efisiensi sistem peradilan pidana dengan mempertimbangkan aspek kepentingan umum. Disertasi ini juga menawarkan konsep penuntutan yang menggabungkan asas legalitas dengan asas oportunitas, serta mempertegas posisi jaksa sebagai pengendali perkara dan menjaga independensinya.
Rudi juga mengusulkan konsep diskresi jaksa dalam sistem peradilan pidana, termasuk prinsip-prinsip diskresi, syarat-syarat diskresi jaksa, alternatif penyelesaian perkara oleh jaksa, dan pemaknaan ulang terhadap makna Pasal 139 KUHAP yang mencakup kepentingan umum.
Bertindak sebagai external examiner yakni Dr. Barita Simanjuntak, S.H.,M.H.,CFrA yang juga adalah Ketua Komisi Kejaksaan RI memberikan sanggahan bahwa sejak dulu KUHAPnya sama, UU Kejaksaan dengan sedikit perubahan dua tahun terakhir, namun mengapa di tangan Jaksa Agung RI yang berbeda kinerja Kejaksaan bahkan public trustnya sekarang tertinggi diantara lembaga penegak hukum lainnya? Diskresi seperti apa yg diterapkan Jaksa Agung sekarang saat ini?
Promovendus Rudi Pradisetia Sudirdja menjawab bahwa Figur keteladanan dan kepemimpinan yang konsisten serta implementasi penegakan hukum termasuk diskresi yang humanis berhati nurani dan berintegritas oleh JA Burhanuddin menjadikan penegakan hukum oleh Kejaksaan mendapat reaksi dan apresiasi positif dari internal dan eksternal termasuk public trust terhadap institusi Kejaksaan yang tinggi.
Jaksa Agung Burhanuddin juga berhasil menerjemahkan prinsip leniency policy, menjadi konsep penuntutan yang berhati nurani dalam konteks Indonesia sebagai dasar jaksa dalam menerapkan diskresinya. Dengan demikian, pelaksanan tugas dan wewenang jaksa tidak hanya berorientasi pada kepastian hukum (rechtmatigheid), melainkan juga kemanfaatan (doelmatigheid) dalam rangka mewujudkan tujuan penuntutan (goals of prosecution) yakni keadilan.
Sebagaj penuntut umum tertinggi Negara, Jaksa Agung juga telah berhasil menetapkan dan mengendalikan kebijakan penegakan hukum dengan menerapkan politik penuntutan yang humanis untuk kasus kecil (trivial case), dan hukum yang tegas dan keras untuk kejahatan serius (serious crime) khususnya pengungkapan tindak pidana korupsi. (Felix Sidabutar)