NasionalTokoh

Jangan Melulu Menghukum !

Oleh : M. Ahsan Thamrin SH.MH

ADHYAKSAdigital.com –Di Indonesia, hampir semua Undang-undang yang dibuat sanksinya adalah untuk MENGHUKUM dengan MEMENJARAKAN orang. Alasannya, karena kita masih menganut teori bahwa penjara bisa memberikan EFEK JERA.

Orang Indonesia dari dulu tampaknya memang senang menghukum. Dalam dunia pendidikan, pelatihan, permainan, kalau ada yang melakukan kesalahan maka biasanya selalu dihukum seperti harus nyanyi. Push up, dan sebagainya, mungkin kita merasa puas ketika melihat seseorang dihukum.

Karena semua Undang-Undang yang kita buat sanksinya selalu berisi pidana penjara maka tidak heran jika orang yang dipenjarakan terus meningkat dratis.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada tahun 2022, terdapat 276.172 penghuni lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan), penghuni lapas di Indonesia paling banyak berasal dari kasus narkoba, yakni 135.758 orang. Rinciannya, ada 125.288 jiwa merupakan pemakai narkoba dan terdapat 14.551 jiwa merupakan pengedar, bandar, penadah, serta produsen narkoba.

Jumlah pelaku tindak pidana narkoba mendominasi penghuni lapas dan rutan. Porsinya mencapai 50% dari total penghuni lapas dan rutan. Bahkan penghuni lapas dan rutan telah kelebihan kapasitas hingga 109%.
(https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/09/23/penghuni-lapas-dan-rutan-kelebihan-kapasitas-109-pada-september-2022)

Pecandu narkoba secara medis adalah orang yang sakit. Orang yang sakit seharusnya diobati. Dengan demikian pecandu-pecandu narkoba seharusnya tidak perlu dihukum tapi direhabilitasi untuk menghilangkan ketergantungannya kepada narkoba.

Bayangkan pecandu narkoba yang kedapatan dengan barang bukti diatas 1 gram maka mereka akan dihukum minimal 4 tahun penjara. Hitung saja apabila negara memberi mereka makan sehari 30 ribu saja maka negara harus menanggung uang makan mereka sebesar 43.800.000.- pertahun (4X365x30.000). Uang sebanyak itu seharusnya bisa bermanfaat untuk memberikan beasiswa kepada siswa berprestasi.

Apa yang terjadi Ketika semua tindak pidana dihukum?
Anggaran penjara meningkat tajam. Negara tidak berhenti mengeluarkan uang untuk membangun penjara baru, mengeluarkan anggaran triliunan setiap tahun untuk memberi makan para narapidana.

Padahal uang sebanyak itu lebih dari cukup untuk membangun ratusan sekolah dan membiayai ribuan siswa berprestasi. Belum lagi biaya sosial yang harus ditanggung keluarga para narapidana. Ada puluhan ribu keluarga yang kehilangan ayah atau tulang punggung keluarga. Belum lagi stigma “orang jahat” yang akan ditanggung narapidana dan keluarga pasca keluar penjara.

Bahwa sudah saatnya kita melakukan pendekatan baru dalam penghukuman. Negara-negara Skandinavia dan Australia sudah lama menerapkan pendekatan baru ini. Mereka mulai menerapkan restorative justice dan community based correction.

Pendekatan berbeda terhadap orang yang berbuat salah. Mereka sadar bahwa tidak semua orang yang berbuat salah adalah orang jahat. Karena itu hukum ditegakkan bukan untuk MENGHUKUM tapi untuk memperbaiki (restorative).

Hakim bisa memberikan hukuman alternatif lain seperti rehabilitasi, kerja sosial, denda, tahanan rumah atau tahanan kota. Tak heran jika jika kita mendengar ada penjara yang tutup di beberapa negara Eropa karena tak ada lagi penghuninya.

Politik hukum pidana klasik dimana hukuman sebagai efek jera supaya narapidana bertobat sudah mulai ditinggalkan, karena ternyata hukuman tidak membuat narapidana berubah bahkan siklus residivis (pengulangan kejahatan) malah meningkat, kekerasan dan demoralisasi seksual di LP.

Bahkan LP telah dijadikan pabrik narkoba dan berbagai jenis kejahatan baru, sehingga sistem penghukuman dengan semata-mata memenjarakan tidak selalu memberikan manfaat. Tidak semua perbuatan buruk atau jahat harus di pidana (dikriminalisasi), dalam arti tidak semuanya harus berakhir dan diselesaikan dengan hukum pidana.

Tapi ini tidak berarti jika tak di pidana suatu perbuatan itu dilegalkan, perbuatan itu tetap perlu sanksi namun ada cara-cara lain untuk diselesaikan, dalam arti Pemerintah perlu memikirkan alternatif hukuman lain selain hukuman penjara untuk kejahatan-kejahatan tertentu.

Banyak manfaat yang diperoleh ketika Pemerintah menerapkan alternatif lain dalam penghukuman diantaranya angka kriminal menurun, ikatan sosial membaik, dan anggaran belanja pemerintah untuk sektor hukum dan pemenjaraan pasti akan menurun drastis.

Di Indonesia Jaksa Agung ST Burhanuddin adalah penegak hukum pertama yang kemudian menerapkan Restorative justice melalui Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 TAHUN 2020 TENTANG PENGHENTIAN PENUNTUTAN BERDASARKAN KEADILAN RESTORATIF.

Bahwa sejak pendekatan keadilan restoratif ini diterapkan tahun 2020, Kejaksaan sudah menghentikan penuntutan sebanyak 2.103 perkara (data Nopember 2022). (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20221123131914-12-877574/jaksa-agung-pamer-setop-2103-perkara-dengan-restorative-justice)

Walaupun untuk saat ini penerapan Restoratif Justice hanya untuk kejahatan tertentu seperti, tindak pidana yang ancaman pidananya tidak lebih dari 5 tahun, dan kerugian tidak lebih dari Rp. 2,5 juta seperti dalam delik pencurian namun itu adalah langkah awal bahwa dengan perdamaian yang didasari saling memaafkan maka tidak semua tindak pidana harus berakhir di meja pengadilan dan pemenjaraan.

Ke depan kita perlu memperluas cakupan Restoratif Justice untuk semua tindak pidana. Selama ini tidak semua perkara pidana dapat dilakukan Restoratif Jusice.

Bahwa jika tujuan hukum untuk mengembalikan ketertiban dalam masyarakat, maka perdamaian antara korban dan pelaku adalah sebuah jalan keluar dalam penyelesaian konflik. Penyelesaian konflik secara damai inilah yang sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia yang berdasarkan pancasila dimana musyawarah untuk mufakat dikedepankan.

KUHP Belanda sendiri yang berjiwa liberal sudah mengenal permaafan ini sejak 1996. Di sana seorang korban berhak meminta penuntut umum untuk menghentikan penuntutan jika memenuhi syarat tertentu seperti pelaku berusia lanjut, sudah membayar kerugian, ada perdamaian antara pelaku dan korban, atau ancaman pidananya ringan.

Kitab suci Al-Quran mengajarkan untuk menegakkan keadilan, kita boleh membalas dengan balasan yang setimpal dan tidak berlebihan. Tetapi Allah lebih memuji orang yang memaafkan. Memaafkan adalah solusi dalam menyelesaikan konflik untuk mengembalikan pada keadaan semula. Wallahu’alam #####

Penulis adalah Jaksa Senior, Kajari Halmahera Utara, Maluku Utara.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button