Di Kepulauan Aru, “Sopi” Rusak Pertemanan
ADHYAKSAdigital.com –Merawat silaturahmi dalam lingkungan pertemanan itu gampang-gampang susah. Masing-masing pribadi harus mampu menempatkan diri sebagai pribadi yang penuh toleransi, empati dan simpati. Namun, sebagai manusia, sulit memang dihadapkan dalam situasi tersulut emosi akibat adanya ketersinggungan dalam komunikasi di komunitas pertemanan.
Di Kepulauan Aru, Provinsi Maluku, sosok “Sopi” mampu menjadi pemicu retaknya silaturahmi dalam komunitas pertemanan. Pengaruh “Sopi” sangat dominan, sehingga mampu memancing emosi dan harga diri bagi penikmatnya.
“Sopi” adalah minuman keras berbahan alkohol yang umum dikenal masyarakat di Kepulauan Aru, Maluku. Ada warga di Kepulauan Aru terlibat konflik pribadi akibat kebanyakan menenggak “Sopi”. Persoalan konflik ini berujung tindak pidana penganiayaan dan harus berurusan dengan aparat penegak hukum setempat.
Kala itu tepat dalam suasana awal Tahun Baru, 1 Januari 2023 malam. “Sopi” membuat para penikmatnya menjadi mabok, sempoyongan, bahkan kelelahan membuat penikmatnya hingga tertidur tidak sadarkan diri.
Seorang pria berinisial RM (20) harus berurusan dengan aparat penegak hukum Kepolisian dan Kejaksaan setempat. Apa pasal? Berawal dari puas menikmati “Sopi”, RM bersama dengan teman-temannya antara lain D, G dan F terbawa suasana mabok, sembari terbawa dalam obrolan ngalar lidur.
Malam itu, keempat pria lajang ini terbawa suasana mabok akibat menenggak “Sopi”. Bahkan G harus tertidur tidak sadarkan diri. Mendapati temannya G tertidur, RM dan D berniat menyudahi pesta miras mereka malam itu dari rumah F.
Pesta miras mereka pun disudahi. G pun dibangunkan dan ketiganya, RM, D dan G pun beranjak dari rumah F menuju rumah RM. Masih dalam kondisi diri mabok, RM dan D terlibat obrolan dan memantik selisih paham dalam komunikasi keduanya malam itu.
RM tersinggung dengan penyampaian bahasa dalam komunikasi yang disampaikan D malam itu. RM tersulut emosi dan tanpa tedeng aling-aling seketika itu mengayunkan sebatang balok kayu ke badan D. Balok kayu itu menghantam kepala dan telinga D.
D (24) merintih kesakitan akibat hantaman benda keras balok kayu. D pun harus dibawa ke rumah sakit untuk perawatan medis. Berdasarkan hasil visum, D mengalami luka pada teliga dan kepalanya.
Tidak terima atas aksi penganiayaan yang dilakukan RM atas dirinya, D lantas mendatangi Polres Kepulauan Aru dan membuat pengaduan atas tindak pidana yang dilakukan D temannya itu. Menerima adanya laporan dari salah seorang warga di wilayah hukumnya, Polres Kepulauan Aru lantas memproses laporan itu.
Penegakan hukum pun dilakukan penyidik kepolisian dengan menetapkan RM sebagai tersangka atas tindak pidana penganiayaan terhadap korban D yang dinilai melanggar 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Seiring waktu, proses hukum atas perkara RM yang disangkakan tindak pidana penganiayaan ini pun bergulir. Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, perkara ini pun dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Kepulauan Aru guna proses hukum berkelanjutan.
Penegakan hukum humanis yang telah menjadi budaya Kejaksaan saat ini tertanam dalam diri Parada Situmorang SH.MH. Tergerak dilandasi hati nurani, Parada Situmorang, sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Kepulauan Aru berinisiasi memediasi perdamaian antara korban dengan pelaku.
Penegakan hukum humanis Kejari Kepulauan Aru menjadi alasan pihaknya untuk menawarkan perkara itu tidak dilanjutkan penuntutannya ke persidangan. Niatan mulia pihaknya membuahkan hasil. D selaku korban mau menerima permintaan maaf dari RM. Mereka bersepakat damai dan membubuhkan tanda tangan diatas materai pernyataan perdamaian dengan disaksikan para saksi.
“Rabu, 1 Maret 2023, mereka berdamai dan sepakat untuk tidak melanjutkan persoalan ini hingga proses hukum lanjutan ke persidangan. D bebaskan RM dari ancaman pidana. RM mengaku berjanji tidak mengulangi perbuatannya dan untuk lebih sabar dan baik dalam bergaul dengan sesama temannya,” kata Kajari Kepulauan Aru Parada Situmorang.
Atas terwujudnya perdamaian antara keduanya, Kejari Kepulauan Aru mengusulkan penghentian penuntutan perkara tersebut ke pimpinan melalui Kejati Maluku untuk diteruskan ke Jaksa Agung agar disetujuinya penerbitan surat ketetapan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif yang di terbitkan Kejari Kepulauan Aru.
“JAM Pidum DR Fadil Zumhana Harahap SH.MH atas nama Jaksa Agung ST Burhanuddin menyetujui usulan kita. Kita menerbitkan SKP2 Restorative Justice atas ini. Dengan demikian D bebas dari ancaman pidana. Perkara ini kita hentikan,” jelas Parada Situmorang.
Pria asal Pulau Samosir, Sumatera Utara ini menyebutkan penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif, sesuai Berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum. (Felix Sidabutar)