ADHYKASAdigital.com –Pekan lalu, jaksa penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung menetapkan David Fernando Simanjuntak (DFS) sebagai tersangka obstruction of justice pada kasus dugaan korupsi PT Duta Palma Group. DFS sebagai pengacara atau penasihat hukum PT Palma Satu dianggap telah melakukan obstruction of justice.
Sebagai informasi, DFS ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Direktur Penyidikan Nomor: TAP-48/F.2/Fd.2/08/2022 tanggal 25 Agustus 2022 dan langsung ditahan berdasarkan Surat Perintah Penahanan Direktur Penyidikan Nomor: PRIN-37/F.2/Fd.2/08/2022 tanggal 25 Agustus 2022.
DFS diduga menghalangi, merintangi, mencegah dalam penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan oleh penyidik terhadap delapan bidang tanah perkebunan kelapa sawit beserta bangunan yang ada di atasnya seluas 37.095 hektare di Pekanbaru, Riau. “DFS disangkakan melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001,” ujar Ketut. Guna mempercepat proses penyidikan, DFS ditahan di Rutan Klas I Jakarta Pusat selama 20 hari, terhitung 25 Agustus-13 September 2022.
Lantas, apa sebenarnya obstruction of justice tersebut? Istilah obstruction of justice sering diartikan sebagai tindak pidana menghalangi proses hukum. Dikutip dari beberapa jurnal hukum, Obstruction of Justice biasanya dilakukan oleh pihak yang berkepentingan. Mereka biasa memanfaatkan jaringan atau koleganya untuk menghindari proses hukum yang sedang dihadapi.
Tindakan menghalang-halangi proses peradilan atau obstruction of justice merupakan suatu perbuatan yang termasuk tindak pidana karena perbuatan demikian dilarang dan diancam dengan pidana bagi subjek hukum yang melanggarnya. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah mengatur ketentuan yang berkaitan dengan tindakan menghalang-halangi proses hukum. Disamping diatur dalam ketentuan umum hukum pidana, obstruction of justice juga diatur dalam peraturan perundang- undangan yang lebih khusus.
Ketentuan mengenai obstruction of justice ini dapat ditemukan dalam ketentuan pasal 221 KUHP dan pasal 21 -Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Pada UU Tipikor menegaskan bahwa setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Terdapat 3 (tiga) unsur obstruction of justice yaitu tindakan tersebut menyebabkan tertundanya proses hukum (pending judicial proceedings, pelaku mengetahui tindakannya atau menyadari perbuatannya (knowledge of pending proceedings), dan pelaku melakukan atau mencoba tindakan menyimpang dengan tujuan untuk mengganggu atau mengintervensi proses atau administrasi hukum (acting corruptly with intent).
DFS, sebagai advokat dinilai telah melanggar kode etik profesinya. DFS sebagai advokat yang terjerat obstruction of justice tersebut dinilai berlindung dengan hak imunitas advokat yang sebenarnya secara substansi tidak bisa dibenarkan. Hal ini karena penggunaan hak imunitas juga dibatasi dengan itikad baik dan berpegang teguh pada kode etik advokat dan peraturan perundang-undangan.
Sehingga, hak imunitas tidak menjadikan advokat sebagai profesi yang kebal hukum dan ketiadaan itikad baik pada advokat menjadikan hak imunitas gugur secara langsung. Seorang advokat dapat kehilangan hak imunitasnya dan dikatakan melakukan obstruction of justice jika perbuatan tersebut dilakukan tidak didasari itkad baik dan tidak berkaitan dengan tugas profesinya.
Advokat dalam menjalankan profesinya akan selalu bersinggungan baik secara langsung atau tidak langsung dengan perkara klien yang sedang ditangani. Tak jarang advokat dituntut untuk menggunakan segala cara demi melindungi klien, termasuk melakukan perbuatan melanggar hukum. Advokat dalam menjalankan tugas profesinya kerap dikaitkan dengan dugaan tindak pidana menghalang-halangi proses hukum terhadap perkara yang dihadapi kliennya.########
Penulis adalah jurnalis senior, tinggal di Medan, Sumatera Utara