Nasional

Jaksa Agung Peroleh Gelar Adat Melayu Jambi

ADHYAKSAdigital.com –Jaksa Agung ST Burhanuddin diberi gelar adat melayu saat di gelarnya Musyawarah IV Lembaga Adat Rumpun Melayu (LARM) se-Sumatera di Auditorium Rumah Dinas Gubernur Jambi, Kota Jambi, Sabtu 27 Agustus 2022. Kegiatan tersebut juga dihadiri lembaga ada dari Sumatera Utara, Riau, Lampung, Sumatera Barat, Bengkulu, Sumatera Selatan.

Ketua Lembaga Adat Melayu Jambi Hasan Basri Agus didampingi Gubernur Jambi AlHaris menyematkan gelar adat Melayu kepada ST Burhanuddin karena dinilai sebagai pejabat negara yang memiliki hubungan historis dengan Provinsi Jambi, mengingat ST Burhanuddin sebelumnya pernah bertugas di Jambi.

Jaksa Agung ST Burhanuddin dalam sambutannya di Musyawarah Lembaga Adat Melayu se Sumatera itu mengaku bangga dan terharus atas pemberian gelar adat kepada dirinya. Jaksa Agung menuturkan, kegiatan ini harus dimaknai bukan hanya sebagai rangkaian seremonial dalam rangka menunjukan eksistensi kearifan lokal lembaga adat melayu di Jambi semata, melainkan juga sebagai wujud upaya dari segenap seperangkat kearifan lokal masyarakat adat melayu Jambi, dalam rangka memberikan sumbangsih positif, bagi pembangunan dan tata kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.

Jaksa Agung menjelaskan Kejaksaan Republik Indonesia, merupakan lembaga pemerintah yang menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman, khususnya di bidang penuntutan serta wewenang lain berdasarkan undang-undang, yang dilaksanakan secara merdeka dari pengaruh kekuasaan pihak mana pun.

Jaksa Agung mengatakan kewenangan Kejaksaan di bidang penegakan hukum, harus mampu mewujudkan cita dan tujuan hukum yakni menciptakan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum bagi masyarakat, bangsa dan negara. “Untuk itu, guna mencapai dan menyeimbangkan ketiga tujuan hukum tersebut, kejaksaan harus mampu menyerap nilai-nilai yang terkandung baik dalam hukum tertulis yang berlaku, maupun hukum tidak tertulis yang hidup dan berkembang, di tengah masyarakat secara dinamis,” ujar Jaksa Agung.

Selanjutnya, Jaksa Agung mengatakan fokus pembangunan hukum di Indonesia saat ini sudah mengarah pada upaya meninggalkan paradigma penegakan hukum pidana yang bersifat retributif, dan menuju ke arah paradigma hukum yang bersifat restoratif dan rehabilitatif. Pergeseran paradigma tersebut, menjadi tepat untuk didorong oleh Kejaksaan, dalam korelasinya dengan fungsi Jaksa selaku dominus litis atau pengendali perkara.

“Kejaksaan sebagai pengendali perkara, mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak,” ujar Jaksa Agung. Jaksa Agung menjelaskan Kejaksaan harus mampu menyeimbangkan antara aturan yang berlaku, dengan interpretasi hukum yang bertumpu pada tujuan kemanfaatan. Artinya, suatu perkara jika diajukan ke Pengadilan, tidak hanya semata-mata berdasarkan pelanggaran aturan hukum yang berlaku, namun juga difokuskan pada kemanfaatannya bagi masyarakat.

Hal ini dipertegas dengan ketentuan Pasal 8 ayat (3) dan Ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang mengatur bahwa “jaksa melakukan penuntutan Demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dan hati nurani dengan mengindahkan norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat”.

“Kita harus menggali hukum dan keadilan yang hidup di tengah masyarakat, karena saya melihat hukum sebagai sebuah kaidah sosial, tidak lepas dari nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat,” ujar Jaksa Agung.

Jaksa Agung mengatakan hukum hadir dalam rangka mengatur hidup masyarakat, karena hukum lahir dan ada karena masyarakat. Hukum yang baik, adalah hukum yang merepresentasikan rasa keadilan serta nilai-nilai sosial, etika, dan budaya masyarakat itu sendiri. Ketika hukum itu terpisah atau jauh dari masyarakatnya, maka hukum tersebut dipastikan akan tidak selaras dengan masyarakatnya. Kondisi tersebut, bagi Kejaksaan adalah sebuah kegagalan hukum.

Oleh karena itu, lanjut Jaksa Agung, Kejaksaan berupaya mengembalikan hukum agar sesuai dengan nilai luhur, budaya, dan sosial masyarakat sekaligus juga berupaya menggali hukum dan keadilan masyarakat, dengan menerbitkan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

“RJ yang diterapkan oleh Kejaksaan menjadi begitu istimewa, karena spiritnya selalu berupaya melibatkan unsur kebudayaan atau kearifan lokal masyarakat, khususnya masyarakat adat dan hukum adat dalam pelaksanaannya,” ujar Jaksa Agung ST Burhanuddin. (Felix Sidabutar/Rel)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button