Humanis, Fadil Zumhana Setuju 4 Perkara Dihentikan
ADHYAKSAdigital.com –Penegakan hukum humanis Kejaksaan terus digelorakan. Jaksa Agung ST Burhanuddin melalui Jaksa Agung Muda Pidana Umum Fadil Zumhana Harahap menyetujui penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif atas 4 (empat) perkara pidana yang diusulkan beberapa Kejaksaan Negeri, Jumat 8 Juli 2022.
Bertempat di Aula Gedung JAM Pidum Kejagung, Fadil Zumhana Harahap mengelar paparan perkara pidana yang diajukan Kejaksaan Negeri Bengkulu, Kejaksaan Negeri Indramayu, dan Kejaksaan Negeri Nabire, dengan disaksikan Kajati Bengkulu, Kajati Jabar dan Kajati Papua.
Ekspose dilakukan secara virtual yang dihadiri oleh JAM-Pidum Dr. Fadil Zumhana, Direktur Tindak Pidana Terhadap Orang dan Harta Benda Agnes Triani, S.H., M.H., Koordinator pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum, Kepala Kejaksaan Tinggi dan Kepala Kejaksaan Negeri yang mengajukan permohonan restorative justice serta Kasubdit dan Kasi Wilayah di Direktorat T.P. Oharda.
Adapun 4 (empat) berkas perkara yang dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif adalah sebagai berikut:
1.Tersangka ABDUL FAKRI ALS ABAH BIN SAKMAL dari Kejaksaan Negeri Bengkulu yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
2.Tersangka HARIS WIANGGA BIN CIWANG dari Kejaksaan Negeri Indramayu yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
3.Tersangka ANDRI RAMDANI BIN (ALM) ENAN SAPUTRA dari Kejaksaan Negeri Indramayu yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
4.Tersangka YANUARIUS YOGI dari Kejaksaan Negeri Nabire yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP Jo Pasal 53 Ayat (1) KUHP tentang Pencurian.
Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain:
• Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf;
• Tersangka belum pernah dihukum;
• Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana;
• Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;
• Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;
• Proses perdamaian dilakukan secara sukarela, dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan dan intimidasi;
• Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;
• Pertimbangan sosiologis;
• Masyarakat merespon positif.
Selanjutnya, JAM-Pidum memerintahkan kepada Para Kepala Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif, sesuai Berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum. (Felix Sidabutar/Relis)