“Predator Sex” Depok Jalani Sidang Perdana

ADHYAKSAdigital.com –Guru Ngaji warga Depok tersangka dugaan pencabulan terhadap santriwatinya pada Majelis Taklim Kelurahan Kemiri, berinisial MMS (69) jalani persidangan perdana di Pengadilan Negeri Depok, Selasa 26 April 2022.
Guru ngaji berinisial MMS (69) yang belakangan mendapat predikat sebagai “Predator Sex” itu didakwa mencabuli 10 orang santriwati. Jaksa mendakwa MMS bersalah melanggar UU Perlindungan Anak.
“Pada intinya melakukan perbuatan yang cabul terhadap beberapa orang, lebih dari satu orang yang dilakukan secara berulang kepada 10 orang. Dilakukan di tempat dia mengajar mengaji,” kata Kepala Kejaksaan Negeri Depok Mia Banulita di Pengadilan Negeri Depok, melansir Detik, Selasa (26/4).
Kajari Depok Mia Banulita menyatakan pihaknya akan menghadirkan terdakwa di persidangan selanjutnya.”Rencananya Minggu depan kami ingin menghadirkan terdakwa secara offline. Karena kan pemeriksaan saksi ya sehingga kita harapkan tidak ada hambatan,” ujarnya.
Akibat perbuatannya, MMS didakwa melanggar Pasal 82 ayat (1), ayat (2), ayat (4) jo Pasal 76 E Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP.
“Ini perkara yang menarik perhatian publik dan saya secara pribadi juga terpanggil. Apalagi ini korbannya anak 10 orang yang pasti menimbulkan trauma berat,” ujarnya.
Untuk diketahui, MMS ditahan Polres Metro Depok pada 12 Desember 2021 lantaran diduga melakukan pencabulan kepada 10 santriwatinya.Akibat perbuatannya, MMS terancam tindak pidana sebagaimana diatur Pasal 82 ayat (1), ayat (2), ayat (4) jo Pasal 76 E Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.
Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengecam guru ngaji MMS (52) yang diduga mencabuli 10 murid perempuan di Beji, Depok, Jawa Barat (Jabar). MUI meminta agar pelaku dihukum berat supaya ada efek jera.
“Kita mengecam itu, kekerasan seksual itu tidak dibenarkan dilakukan oleh siapapun, kapanpun dan dimanapun. Sehingga kalau kita sih concern-nya ini fenomena gunung es. Kita tidak fokus kasus ini saja. Kasus ini dikawal, diproses hukum sampai tuntas,” kata Wakil Sekjen MUI Bidang Perempuan, Remaja, dan Keluarga, Badriyah Fayumi kepada wartawan, Jumat (17/12/2021).
“Kalau melakukan tindak kekerasan seksual harus diproses sesuai dengan hukum yang berlaku dan dihukum seberat-beratnya supaya ada efek jera bagi yang bersangkutan dan juga bagi masyarakat secara umum,” lanjutnya.
Badriyah mengatakan bahwa sering kali kasus kekerasan seksual tidak tuntas saat diproses hukum. Bahkan, kata dia, korban mengalami didiskrimanasi ketika melapor.”Kita problemnya ini kan sering kali kekerasan seksual ini masih dianggap sesuatu yang, kalau diproses hukum ya sering kali tidak sampai tuntas, atau macam-macam gitu, atau mengalami kesulitan, kadang melapor malah didiskrimanasi,” katanya.
Menurut Badriyah, Indonesia saat ini dalam kondisi darurat kekerasan seksual. Dia menyebut kasus kekerasan seksual yang dilakukan guru ngaji di Depok ini satu di antara fenomena gunung es.
“Sehingga memang negara ini sedang dalam kondisi darurat kekerasan seksual. Kasus yang keluar itu fenomena gunung es saja, sebetulnya kasus itu banyak sekali tetapi kan tidak semua korban berani bicara. Bisa juga dia malah dilaporkan balik karena memang peraturan perundang-undangan yang ada di kita belum cukup memberikan perlindungan maksimal kepada korban,” kata dia.(Felix Sidabutar)