Nasional

Dugaan Korupsi di Kemenhan, MAKI Minta Kejagung Dalami Peralihan Kewenangan Kominfo ke Kemenhan

ADHYAKSAdigital.com -Setelah memeriksa mantan pejabat di Kemenhan, penyidik Kejaksaan Agung memeriksa mantan Menteri Komunikasi dan Informatika terkait kasus pengadaan satelit slot orbit 123 BT. Ada isu krusial yang harus didalami.

Dalam perkara dugaan korupsi pengadaan satelit slot orbit 123 derajat Bujur Timur, penyidik Kejaksaan Agung diharapkan mendalami terjadinya peralihan kewenangan pengadaan satelit dari Kementerian Komunikasi dan Informatika ke Kementerian Pertahanan. Sebab, pemindahan kewenangan itu kemudian berakibat pada proses pengadaan yang diduga tidak sesuai prosedur.

Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia Boyamin Saiman ketika dihubungi, Minggu (13/2/2022), berpandangan, dalam perkara tersebut, pejabat setingkat menteri sudah semestinya mengetahui pengalihan kewenangan pengadaan satelit dari Kominfo kepada Kemenhan. Hal itu menyangkut proses pengalihan, perencanaan, prosedur, hingga pelaksanaannya. ”Yang paling utama adalah apakah boleh atau tidak boleh (kewenangan pengadaan) itu dipindahkan dari Kominfo ke Kemenhan dan dasarnya apa,” kata Boyamin.

Pada Jumat pekan lalu (11/2/2022), mantan Menteri Komunikasi dan Informatika periode 2014-2019 Rudiantara diperiksa penyidik pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung sebagai saksi. Dia diperiksa terkait perkara pengadaan satelit slot orbit 123 BT di Kemenhan 2015-2021 setelah sebelumnya penyidik memeriksa para mantan pejabat di Kemenhan.

Menurut Boyamin, persoalan boleh atau tidaknya pemindahan kewenangan pengadaan satelit itu dilakukan sangat krusial. Sebab, bisa saja sebenarnya hal itu tidak bisa dilakukan atau bisa dilakukan dengan syarat tertentu. Jika memang memungkinkan untuk dipindahkan, prasyarat pemindahan itu juga mesti jelas. Sebab, lanjutnya, kewenangan pengadaan dan pengelolaan satelit selama ini berada di Kominfo. ”Kalau mengetahui proses peralihan itu otomatis pejabat setingkat menteri di Kominfo tahu. Tetapi, karena beralih, bisa saja dia (saksi) tidak tahu-menahu proses pengadaan sewanya. Tentu pejabat Kominfo juga ditanya apakah biasanya menyewa atau dengan pengadaan pihak ketiga atau beli sendiri,” ujarnya.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak dalam keterangan tertulis mengatakan, saksi Rudiantara diperiksa dalam kapasitasnya sebagai mantan Menkominfo dan terkait hak pengelolaan filling (HPF) slot orbit 123 BT. Keterangan itu terkait dengan yang ia dengar, lihat, dan alami sendiri.

Sebelumnya, penyidik telah memeriksa tiga purnawirawan TNI yang pada saat perkara tersebut terjadi masih menjadi pejabat militer aktif serta pejabat eselon 1 dan eselon 2 di Kemenhan. Ketiganya adalah Laksamana Madya (Purn) AP selaku Mantan Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan Kemenhan, Laksamana Muda (Purn) L selaku mantan Kepala Badan Sarana Pertahanan Kemenhan, dan Laksamana Pertama (Purn) L selaku mantan Kepala Pusat Pengadaan Badan Sarana Pertahanan Kemenhan.

Dalam proses pengadaan satelit slot orbit 123 BT, diduga terjadi pelanggaran hukum yang menyebabkan kerugian negara. Sebab, negara diwajibkan pengadilan untuk membayar uang dalam jumlah yang sangat besar. Pengadilan arbitrase di Inggris memutus keharusan Indonesia membayar Rp 515 miliar kepada Avanti. Selain itu, Pengadilan Arbitrase Singapura juga memutus Kemenhan untuk membayar 20,9 juta dollar AS kepada Navayo. Avanti dan Navayo adalah perusahaan penyedia satelit.

Secara terpisah, Direktur Institute for Security and Strategic Issues (ISESS) Khairul Fahmi berpandangan, pemberian kewenangan pengadaan satelit dari Kominfo kepada Kemenhan tersebut merupakan titik penting dari perkara tersebut meski disebutkan bahwa alasan pemberian kewenangan itu karena spesifikasi satelit tersebut untuk pertahanan. Meski demikian, bukan berarti Kominfo kemudian lepas tangan. ”Saya kira aneh juga kalau Kominfo kemudian langsung lepas tangan, sementara Kemenhan belum tentu cukup punya pengalaman. Apalagi dilakukan kontrak sebelum dianggarkan di DIPA (daftar isian pelaksanaan anggaran), itu kan levelnya (pejabat) tinggi. Masak menteri tidak mengikuti atau meminta laporan,” tutur Khairul.

Menurut Khairul, dengan diperiksanya mantan pejabat eselon 1 dan 2 di Kemenhan dan mantan Menkominfo, hal itu telah memperlihatkan bahwa keputusan terkait pengadaan satelit tersebut ada di level yang tinggi. Sebab, tidak lazim atau dinilai terlalu berani ketika kontrak ditandatangani tanpa ada persetujuan dari Kementerian Keuangan sebagai bendahara negara.

Dari kasus tersebut, ia berharap agar dalam pengadaan alat pertahanan, pemerintah tidak bersikap tertutup sebagaimana dilakukan selama ini dengan alasan kerahasiaan negara. Sebab, ketertutupan tersebut rentan untuk disalahgunakan atau diselewengkan. Sebagaimana dalam perkara satelit ini, katanya, muncul spekulasi terkait pengadaan satelit yang sepertinya dipaksakan untuk diadakan oleh Kemenhan. Padahal, pengadaan satelit dapat dilakukan Kominfo, sementara Kemenhan sebagai pengguna cukup memberikan spesifikasi kebutuhannya. ”Baik Kemenhan maupun kementerian yang lain agar membenahi persoalan transparansi dan akuntabilitasnya. Tidak bisa lagi berlindung di balik alasan kerahasiaan negara, tetapi ternyata terjadi praktik-praktik yang buruk berupa korupsi,”ujar Khairul.


Sumber : kompas.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button