Nasional

Jaksa Menjerat 2 Tersangka di Kasus LPEI dengan TPPU

ADHYAKSAdigital.com -Kejaksaan Agung menyebut dua dari tujuh tersangka kasus dugaan korupsi dalam penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) pada 2013-2019 dijerat dengan Tindak Pidana Pencucian Uang atau TPPU.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak menyebutkan kedua tersangka tersebut, yakni Johan Darsono selaku Direktur PT Mount Dreams Indonesia dan Suryono selaku Direktur PT Jasa Mulia Indonesia, PT Mulia Walet Indonesia, dan PT Borneo Wallet Indonesia. “Kedua tersangka tersebut ditetapkan berdasarkan Laporan Hasil Perkembangan Penyidikan dalam Perkara Penyelenggaraan Pembiayaan Ekspor Nasional oleh LPEI pada tahun 2013-2019,” ujar Leonard, pada keterangan persnya, Jumat, 11 Februari 2022.

Kedua tersangka dijerat Pasal 3 juncto Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam perkara ini, penyidik menetapkan tujuh tersangka tindak pidana korupsi.

Selain kedua tersangka yang disebutkan tadi, tiga tersangka pidana korupsi, yakni Arif Setiawan (AS) selaku Direktur Pelaksana III LPEI periode 2016, Ferry Sjaifullah (FS) selaku Kepala Divisi Pembiayaan UKM 2015-2019, Josef Agus Susanta (JAS) selaku Kepala Kantor Wilayah LPEI Surakarta pada tahun 2016. Ketiganya ditetapkan sebagai tersangka pada Kamis, 6 Januari 2022.

Dua tersangka tambahan ditetapkan pada Jumat, 14 Januari 2022. Mereka adalah Purnomo Sidhi Noor Mohammad (PSNM) merupakan Relationship Manager LPEI pada tahun 2010-2014 dan pembiayaan UMKM 2014-2018. Lalu Djoko Slamet Djamhoer (DSD) yang merupakan Kepala Divisi Analisa Risiko Bisnis LPEI periode April 2015-2019.

Kelima tersangka ini telah ditahan di Rutan Kejaksaan Agung dan Rutan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Mereka dijerat dengan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Kasus ini berawal dari LPEI memberikan fasilitas pembiayaan atau kredit kepada delapan grup yang terdiri atas 27 perusahaan. Namun, fasilitas itu diberikan tanpa melihat tata kelola perusahaan dan tidak sesuai dengan kebijakan perkreditan LPEI. Selain itu, tidak sesuai dengan sistem informasi manajemen risiko.

Pembiayaan itu dalam posisi kolektibilitas lima atau macet per 31 Desember 2019. Pemberian fasilitas yang berujung pada kredit macet itu menyebabkan kerugian negara sekitar Rp2,6 triliun. Kejaksaan Agung menyatakan nilai kerugian negara itu kemungkinan masih bisa bertambah sebab Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) masih melakukan perhitungan. (Felix Sidabutar )

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button